dakwatuna.com – Betapa besar perbedaan antara shaumnya –puasanya- kita dengan shaumnya salafus shalih -generasi awal Islam-.
Generasi awal Islam berlomba meraih nilainya, berkutat dalam naungannya dan mengerahkan segenap kekuatan fisik dan kekuatan jiwa untuk mengisinya.
Siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas dan profesional.
Malam hari mereka adalah malam-malam meraih bekalan ruhani, tahajjud dan tilawatul Qur’an.
Sebulan penuh mereka belajar, beribadah dan berbuat baik.
Lisan mereka shaum, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok dan dusta.
Telinga mereka shaum, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif dan sia-sia.
Mata mereka shaum, tidak melihat yang diharamkan dan perbuatan tidak senonoh.
Hati mereka shaum, tidak terbersit untuk melakukan kesalahan atau dosa.
Dan tangan mereka, tidak digunakan untuk mengambil yang tidak halal dan tidak menyakiti.
Berbeda dengan muslim sekarang ini.
Di antara mereka ada yang menjadikan Ramadhan sebagai musim ta’at kepada Allah swt. dan melipatgandakan kebaikan.
Mereka shaum siang harinya dengan sebaik-baiknya. Mereka qiyam Ramadhan –shalat tarawih dan tahajjud- dengan sebaik-baiknya.
Mereka bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang diberikan, dan mereka tidak lupa saudara-saudara mereka yang lemah dan tidak beruntung.
Mereka berusaha meneladani Nabi, sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak berbuat baik dalam bulan Ramadhan, laksana angin yang tertiup.
Kelompok lain adalah, kelompok yang tidak pernah tahu dan sadar akan kebaikan Ramadhan. Mereka tidak merasakan manfaat dari bulan Ramadhan. Mereka tidak peduli dengan shiam dan qiyam. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.
Padahal Allah swt. menghidangkan Ramadhan bagi qalbu dan ruh –hati dan jiwa- sekaligus. Sedangkan mereka malah menjadikan Ramadhan untuk memperturutkan syahwat perut dan mata (tidur) semata.
Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran. Justeru mereka menjadikannya sebagai ajang amarah dan mengumpat.
Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai wahana meraih sakinah –ketentraman- dan keteduhan. Mereka malah menjadikannya sebagai bulan pertengkaran dan perselisihan.
Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai momentum perubahan diri, namun mereka hanya merubah jadwal makan belaka.
Allah swt. menghadirkan Ramadhan untuk menggugah si kaya agar peduli dengan yang tak berpunya. Namun mereka menjadikannya sebagai ajang memperbanyak makanan dan minuman dengan aneka ragamnya.
Semoga umat muslim melaksanakan shaum Ramadhan adalah dalam rangka meraih janji Allah swt. taqwallah, bertaqwa kepada Allah swt. sebagaimana yang diperintahkan Al Qur’an, dengan demikian mereka akan keluar dari Ramadhan menjadi orang-orang yang suci (fithri) dan dosanya terhapuskan, biidznillah. Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar